Srawungan: Menapaki Jejak Literasi yang Sengaja Dihilangkan

Mengamati perjalanan menulis saat ini banyak menilai dari bagaimana menjaga semangat menulis, apalagi menautkan pada sikap dan kemampuan yang dimiliki untuk menulis apa yang kita ketahui. Poin pertama yang perlu dimiliki adalah paham dan cakap.

Jika kita memahami objek yang akan kita tulis, maka rasa ingin tahu akan muncul untuk menggali informasi. Tetapi, bagaimana jika kita belum memahami dan cara memunculkan semangat itu?

“You can always edit a bad page. You can’t edit a blank page.” -- Jodi Picoult

Lebih penting kita memulai terlebih dahulu, daripada kita berkutat untuk tampil sempurna. Sebetulnya penyakit writer block muncul akibat perfeksionis, ingin terlihat bagus dan malah menurunkan produktivitas. Apakah kita juga demikian, walaupun di dunia tidak ada yang sempurna kecuali Sang Maha, lagu bang Andra dan rokok favorit jaman baheula?

Penulis bukan butuh panggung, namun juga perlu nama. Agak sedikit ambigu menyerap kalimat tersebut, tetapi jika disadari memang betul adanya. Untuk hari ini saja, ketika kita menulis, apa yang kita kejar menjadi tujuan? Dari sini muncul jawaban untuk eksplorasi kembali tujuan kita menulis sesuatu.


Sumber: Deepublish

Fokus: Belajar Menajamkan dan Meluaskan Sudut Pandang

Hari ini, kita mendapati penulis yang ingin tulisannya laku atau dibukukan. Namun, tidak banyak penulis yang ingin produktif dan menjaga semangatnya untuk menebar gagasan dan ide. Jika kita telisik lebih jauh, pribadi sendiri pun menulis hanya sekedar menuangkan rerasan dan ide daripada mengejar fame atau familiaritas. Mengapa?

Ekspektasi awal yang diharapkan penulis pemula adalah punya nama. Maka, penulis akan menuliskan berbagai ide, imajinasi, gagasan dan opininya dengan mementingkan kuantitas. Dengan begitu, namanya akan naik di landing page atau trending topic, kemudian dilanjutkan dengan mencari niche yang sedang tren di kanal informasi.

Jika sudah mendapat nama, maka yang sering dilakukan penulis adalah mengasah ulang kualitas tulisan. Mereka bisa saja mengikuti writing class or course, inkubasi kepenulisan atau konsultasi bersama mentor kepenulisan. Hal ini biasa dilakukan supaya hasil tulisan mereka mudah dipahami dan berfokus pada konteks, disertai mempelajari bagaimana meletakkan keyword dalam tulisan artikel atau pemolesan cerita fiktif menjadi hidup.

Tarik ke belakang sebentar, mengingat kutipan Picoult: tulislah serileks mungkin, kemudian kupas dan poles setelah selesai. Artinya, kunci menulis adalah fokus dan diharapkan membuat outline agar tidak melebar dari topik yang ditulis.


2C+2E: Cakap dan Cermat dalam Evaluasi dan Elaborasi

Mengapa perlu kecakapan? Mengapa perlu cermat? Mengapa perlu evaluasi dan elaborasi? Kupas bersama beberapa pensil dan kertas, kawan. Ini penting dan dibutuhkan setiap penulis.

Cakap bagi pribadi adalah literasi. Seorang yang berkecimpung di dunia literasi artinya dia cakap dalam mengoptimalkan kemampuan dasarnya, salah satunya menulis. Pernah dengar istilah well-literated atau kajian literatur?

Biasanya, kecakapan seseorang dipengaruhi dengan cara belajar, gaya belajar dan lingkungan belajar yang dapat membantu pengembangan diri. Contoh kecil saja, belajar berbicara, manusia memiliki alat dan kemampuan, ketika mereka belajar dan mengasahnya, artinya mereka terliterasi dalam bidang speaking; bisa bentuknya public speaking atau argumentative speech.

Sama halnya dengan seorang penulis, mereka mengasah dari awal menulis keresahan, berlanjut pada konteks opini, hingga tiada akhir merambah pada hal-hal kecil yang ditulis dengan bahasa menarik (sebut saja dengan ilmu kesusastraan dan linguistik).

Maka, mengapa literasi bisa disebut ilmu alamiah? Atau literasi adalah sifat dasar manusia yang dituju? Atau konsep manusia yang mencapai pemahaman yang baik secara objektif?

Cermat dalam mengasah kecakapan menjadi langkah kedua, sebagaimana yang dilakukan dalam tahap pertama yaitu bagaimana cermat dalam memilih pembelajaran menuju sifat terliterasi. Nah, dari sini kita menentukan pilihan yang dibutuhkan dan berguna untuk jangka panjang. Selama ini, apakah menulis menjadi kebutuhan dan menjadi core tools dalam jangka panjang?

Cakap dan cermat menentukan pilihan dan sebagainya, selanjutnya adalah evaluasi ulang apa yang telah dilakukan. Apakah yang dilakukan telah mencukupi kebutuhan diri? Apakah yang telah diupayakan menjadi hal berharga dalam hidup? Apakah yang sudah dilakukan memberikan manfaat bagi diri dan luar diri? Dari sini, kita dapat menilai aktivitas literasi yang sebelumnya dilakukan, nantinya bisa menakar untuk meningkatkan atau mengurangi daya dan kapasitas untuk menjadi pribadi lebih baik.

Elaborasi; yang terakhir dan perlu dilakukan bagi pegiat maupun penulis. Memberikan ruang informasi dari luar ke dalam diri secara terbuka, supaya kita dapat menyaring dan menghimpun informasi yang ada, sehingga memunculkan ide atau gagasan untuk menyikapi, menulis ulang, mengoreksi atau sekedar memberikan kritik dan saran. Artinya, tidak hanya menulis dan membaca yang dibutuhkan, tetapi menyaring informasi secara objektif agar informasi yang tersampaikan tidak memberikan dampak kurang baik bagi pembaca yang belum well-literated.

Empat langkah ini dibutuhkan sedini mungkin, agar tulisan atau informasi yang diserap, dicerna dan ditulis oleh kita memberikan efek meningkatkan spirit belajar dan menggali rasa ingin tahu. Apakah sebaiknya perlu pengembangan atau rekonstruksi pemaknaan literasi agar tidak terjadi kesalahpahaman makna?


Refleksi Dini

Setelah berenang dan menyelami tulisan-tulisan yang beredar di linimasa, sejatinya pribadi hanya menampilkan sisi lain dari literasi. Bukan tanpa sebab, literasi sering dikonotasikan sebagai membaca dan menulis, tetapi jarang yang mengulas lebih dalam mengapa literasi mesti dioptimalkan?

Sebagai pegiat literasi, mempelajari kesadaran jadi poin pertama sebelum mengarah kepada calistung dan literasi lainnya. Masih banyak literasi yang perlu diasah, contoh paling dasar adalah literasi keuangan, sains dan digital yang sedang kita geluti hari ini.

Pegiat literasi baiknya senang dan haus akan pengetahuan, sebab karunia Tuhan yang diberikan sebaiknya dimanfaatkan dan memberi manfaat. Apa yang kita pelajari dan berbuah kebaikan adalah ibadah, itulah mengapa banyak penasaran dan rasa ingin tahu mendalam pribadi yang ingin disampaikan.

Tabik!

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url