Cerpen Perenungan : Lelaki Dan Penyesalannya

 

Cerpen Perenungan : Lelaki dan Penyesalannya

Oleh Siti Nurlelah

Di depan pintu ruang operasi, nampak seorang laki-laki setengah baya sedang duduk di kursi ruang tunggu. Wajahnya begitu kuyu dengan rambut acak-acakan. Matanya menerawang ke atas langit-langit. Entah apa yang sedang dia pikirkan. 

Dilihat dari raut wajahnya, nampak dia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Seperti telah terjadi sesuatu yang menimpa orang terdekatnya. Entah istrinya yang dia khawatirkan, anak atau mungkin kerabatnya yang sedang terbaring sakit dan akan segera diambil tindakan operasi. Bibirnya komat-kamit seperti sedang mengucapkan sesuatu. 

Jam menunjukkan pukul 08.30 WIB, aku yang pada saat itu akan pulang sesudah menunggu kerabatku yang sedang sakit tidak sengaja melihatnya. Lelah dan kantuk yang kurasa hilang begitu saja ketika rasa penasaranku mendorong tubuh untuk mengetahui apa yang terjadi padanya. 

Entah kenapa aku begitu penasaran dengan lelaki itu. Tak biasanya aku begini. Aku seorang yang cuek yang tidak pernah peduli dengan kondisi orang lain, apalagi orang yang tidak kukenal. Berbeda dengan sekarang. Aku segera mendekati lelaki itu. Baru saja selangkah diriku untuk mendekatinya, langkahku terhenti ketika tiba-tiba beberapa orang tim dokter hendak memasuki ruangan operasi tersebut.

Laki-laki setengah baya itu menghentikan langkah mereka tepat di depan pintu masuk. Sambil membetulkan letak kerah kemejanya yang sedikit terlipat, dia mengucap sesuatu yang tidak begitu jelas kudengar. Namun, saat itu aku sempat mendengar beberapa kata yang samar-samar bahwa ia meminta dokter untuk menyelamatkan anaknya. Dia nampak merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada untuk memohon kepada dokter dan beberapa perawat yang mungkin hendak melakukan operasi.

Salah seorang diantara mereka yang nampaknya dokter yang akan memimpin operasi nampak mengangguk-anggukan kepalanya, mulutnya seperti mengatakan sesuatu lalu menepuk pundak laki-laki itu kemudian mereka segera bergegas ke ruangan tersebut. Dengan langkah yang mantap mereka memasuki ruang operasi.

Lelaki itu kembali duduk ke tempat tadi, mulutnya komat-kamit, mungkin dia sedang berdoa untuk kelancaran operasi anaknya. Lalu dia menutup wajah dengan kedua tangannya dengan kedua siku disimpan di atas paha. Aku yang dari tadi mengamati sikapnya segera menemui lelaki itu. 

Aku memberanikan diri untuk menyapanya. “Maaf, Pak…saya lihat Bapak nampaknya sedang resah. Kalau boleh tahu, kenapa Bapak resah seperti itu? Maaf… bukan maksud saya untuk ikut campur dalam urusan Bapak.” Aku membuka percakapan.

Lelaki itu menolehkan kepala ke arahku. Kecemasan di wajahnya nampak begitu jelas. “Iya saya memang sedang resah, sekarang anak saya sedang dioperasi,” sambil mendesah dan menarik nafas panjang. Jakunnya nampak turun naik.

“Apa yang terjadi dengan anak Bapak?” aku kembali bertanya, kemudian duduk disamping dirinya.

“Tadi pagi anak saya baru saja mengalami kecelakaan, motor yang dikendarainya tabrakan dengan truk yang membawa pasir. Dia mengalami cedera otak yang cukup parah dan mengharuskan dirinya untuk dioperasi. Baru saja kemarin dia menemui saya untuk memintanya menjadi wali dalam pernikahannya minggu depan. Saya takut operasi ini tidak berhasil dan nyawanya tidak terselamatkan.” Suaranya tersendat kulihat matanya berkaca-kaca, beberapa kali dia menyeka matanya.

“Bapak jangan berkata begitu, jangan mendahului takdir yang belum terjadi. Kita harus optimis dan yakin bahwa anak bapak akan selamat.” Belum selesai aku berkata, tiba-tiba dari pintu operasi keluar seorang dokter yang tadi berkata kepada lelaki itu.

Lelaki itu pun berdiri dan berjalan tergopoh-gopoh menemuinya. Wajah dokter tampak sedih, sepertinya dia akan memberikan kabar yang kurang baik. Benar saja dugaanku, dokter itu mengabarkan bahwa belum sempat operasi dilaksanakan anak gadis lelaki setengah baya itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Lelaki itu menjatuhkan dirinya ke lantai sambil menangis meraung-raung. Dokter yang menyangka aku sebagai kerabat lelaki tersebut meminta untuk menenangkannya. Aku merangkulnya dan membawa dia duduk di kursi. Kuberikan air minum yang aku beli tadi di kantin rumah sakit. Dia mengambil air minum dan meminumnya dua teguk mungkin sekadar untuk menenangkan hatinya.

Seorang perawat cantik menghampiri kami. Wanita itu mempersilahkan dia untuk melihat wajah putrinya yang terakhir kali. Beberapa menit kemudian dengan langkah gontai, dia keluar dari ruangan. Dia mengatakan bahwa pihak rumah sakit akan mengurusi jenazahnya. 
Entah kenapa, aku belum juga beranjak untuk pergi. Hatiku mengatakan bahwa aku harus menemani bapak ini sampai dia pulang. Dia melangkah mendekatiku, lalu duduk di sampingku. Sambil menatap wajahku, dia berkata bahwa dia akan menceritakan kisahnya dan dia ingin agar kisah hidupnya bisa menjadi pelajaran untukku.

“Saya seorang Bapak yang banyak dosa dan tidak bertanggung jawab, di sisa hidupnya, saya tidak pernah membahagiakannya. Kewajiban untuk menafkahi pun tidak pernah saya lakukan. 

Hal ini berlangsung semenjak saya menceraikan ibunya ketika dia berusia tiga tahun. Usianya kini sudah dua puluh empat tahun. Bertahun-tahun anak kandung sendiri saya sia-siakan sementara saya sibuk dengan keegoan mengejar impian dan memenuhi hawa nafsu yang tidak pernah terpuaskan.” Lelaki itu mulai bercerita. Tatapan matanya kosong, matanya tertuju ke arah ruang operasi.

“Pernah suatu hari, dia sakit, ibunya meminta saya untuk mengantarnya berobat. Namun, saya menolak dengan alasan sedang sibuk kerja, padahal saat itu saya sudah janji bertemu dengan seorang wanita yang kini menjadi ibu sambungnya. Saya sudah mengkhianati dia dan wanita yang telah melahirkannya.” Terdiam sejenak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia lanjut bercerita.

“Ketika dia merindukan kehadiran seorang ayah, saya tidak pernah ada untuknya. Ketika semua ayah memberinya kehangatan dan kecupan pada saat akan tidur, saya tidak pernah memberikannya. Pada saat ayah-ayah lain mengajarkan anak-anaknya bersepeda, saya tidak pernah mengajarkannya. Saya tidak pernah sedikit pun menyempatkan waktu untuk bercengkrama lagi dengannya apalagi untuk mendidiknya.” Beberapa kali dia menunjukan tangannya ke kursi yang kami duduki.

“Saya masih ingat terakhir kali memeluknya, pada malam sebelum saya mengantarkannya ke rumah mantan mertua. Dia mendekap saya begitu kuat seolah-olah dia tahu bahwa malam itu adalah malam terakhir kami bersama. Tapi saat itu tak sedikit pun hati saya tergerak untuk membatalkan niat meninggalkannya”. Dia menarik nafas panjang sambil memejamkan matanya. Kemudian lelaki itu melanjutkan ceritanya.

“Sejak saat itu saya tidak pernah memeluk dan menemuinya. Jangankan untuk memeluk, menghubunginya pun saya tidak pernah atau sekedar untuk menanyakan kabarnya sekalipun tidak juga saya lakukan. Saya terlena dengan kehidupan baru bersama wanita yang lebih muda dari ibunya. Saya tidak pernah lagi memedulikan kewajiban sebagai seorang ayah. 
Saat itu yang terpikir di otak saya adalah bagaimana bisa hidup enak tanpa ada beban untuk menafkahi keluarga.” Sambil memukul-mukul dahinya dengan kepalan tangan sebelah kanan. Kemudian ia menjambak rambutnya beberapa kali.

“Mungkin selama ini dia sudah menganggap aku mati, hingga kemarin barulah aku dipertemukan dengannya. Kini anak yang aku sia-siakan telah meninggal. Bagaimana aku bisa menebus semua dosa ini.” Butiran bening mulai membasahi pipinya. Suaranya bergetar dan tangis pun pecah. Aku mengambil tisu dalam ransel dan menyodorkan padanya. 

“Penyesalan sudahlah tak ada artinya. Sekarang lebih baik Bapak berdoa untuk anak Bapak. Biarkan dia pergi dengan tenang”. Lelaki itu merangkul kuat badanku hingga membuat dada terasa sesak. Aku membiarkan dirinya memelukku. Mungkin dengan begitu, dia akan merasa tenang.

Satu jam berlalu, seorang petugas rumah sakit memberitahukan padanya jika jenazah sudah siap dibawa pulang. Lelaki itu berpamitan untuk membawa pulang jenazah anaknya sekaligus mengurus biaya administrasi. Kami pun berpisah. 

Kutatap tubuh kurus laki-laki itu yang semakin menjauh. Tiba-tiba aku melihat bayangan diriku dalam dirinya. Langkahnya mengesankan luka dan penyesalan. Akankah nasib diriku sama dengannya?

 Aku pulang ke rumah dengan langkah gontai. Cerita yang laki-laki itu tuturkan baru saja membuka hatiku. Selama ini aku pun telah menyia-nyiakan anak demi kesenangan diriku sendiri. 

Sudah sepuluh tahun aku meninggalkan mereka dan lebih memilih untuk hidup bersama dengan wanita yang menjadi istriku sekarang. Cerita lelaki itu seolah menjadi cambuk untukku. Apa yang dilakukan oleh dia sama dengan yang telah aku lakukan kepada anakku.

Sesampainya di rumah aku langsung merebahkan diri di atas pembaringan. Ingin aku menutup mata, tapi tak bisa. Harusnya aku mengantuk karena seharian aku tidak tidur menjaga kerabatku. Cerita lelaki tadi masih saja terngiang di telinga dan membekas di pikiranku.

Aku menjadi teringat akan kedua anak yang telah aku tinggalkan. Tiba-tiba saja di langit-langit kamar muncul wajah anak-anakku seperti dalam tontonan sebuah video yang sengaja dikirim Tuhan untukku. Bahkan dalam video itu aku pun hadir. 

Tubuh-tubuh mungil menyambutku dan menciumi pipiku ketika aku pulang kerja. Mata mereka selalu berbinar dan menyunggingkan senyum termanisnya ketika aku memeluk erat mereka. Tapi, tiba-tiba tubuh mereka terkulai lemas. 

Aku membangunkannya tapi mereka bergeming. Aku berteriak meminta pertolongan.Tak lama kemudian orang-orang membawanya. Setelah itu mereka membawa kembali anakku dengan tubuh yang sudah terbungkus dengan kain kafan. Mereka meletakkan anak-anakku di hadapanku. Semua menyalahkanku. Tuduhan-tuduhan bapak tak bertanggungjawab pun berseliweran di telinga dan satu tamparan keras mendarat di pipi. Aku tersentak dan baru menyadari ternyata aku sedang bermimpi. 

Mimpi dan cerita lelaki tadi telah mengganggu pikiranku. Aku buka galeri HP dengan harapan aku masih menyimpan foto-foto mereka. Kubuka file satu persatu hingga akhirnya aku menemukan satu foto ketika mereka menciumku pada perayaan ulang tahun anak pertamaku.

Mereka begitu menggemaskan, kenapa aku tega meninggalkan mereka pada saat mereka membutuhkanku. Keserakahan dan keegoanku telah mengalahkan rasa sayangku kepada mereka.”Tuhan maafkan aku yang telah menyia-nyiakan titipan-Mu.” Tak terasa air mataku menetes. 

Aku benar-benar lelaki egois yang dengan sengaja telah meninggalkan dan menelantarkan buah hatiku hanya demi mengejar kebahagiaan semu. Mungkin sekarang mereka membenci dan melupakanku. Namun, aku berharap mereka masih mengingat dan merindukanku.

Mungkin pertemuan dengan lelaki setengah baya di rumah sakit tadi adalah skenario yang sudah Tuhan siapkan untukku. Aku benar-benar seorang bapak yang banyak dosa telah menelantarkan anak-anakku hanya untuk kesenangan sesaat. Andai Tuhan masih memberikan kesempatan padaku untuk bertemu dengan mereka, aku ingin menebusnya dengan memberikan kebahagiaan untuk anak-anakku. Namun, apakah kesempatan itu masih ada? mengingat kondisiku sekarang yang jauh berbeda.

Saat ini aku belum bisa menemui mereka, tempat tinggalku sudah jauh dari mereka dan ada alasan yang paling utama karena aku terikat sebuah perjanjian. Satu tahun setelah aku menikah dengan istriku yang sekarang, usahaku gulung tikar dan terpaksa aku harus ikut ke tempat tinggal istriku. Di sini aku tidak bisa kemana-mana karena terikat perjanjian dengan istriku. Perjanjian yang mengharuskan aku tidak bisa menemui anak-anakku. Sebuah perjanjian yang kini membuat aku tersiksa dan menyesal. 

Sebelum pertemuanku dengan lelaki di rumah sakit itu, perjanjian tersebut tidak membuat aku takut, aku tidak peduli dengan isi perjanjian itu. Namun, semenjak pertemuan itu, membuat aku sadar bahwa anak adalah segalanya. Andai dulu usahaku tidak gulung tikar dan aku tidak gila harta, mungkin perjanjian ini tidak akan ada dan aku bisa menemui anak-anakku meski tempat tinggal kami berbeda pulau. Aku hanya berharap semoga pertemuan itu ada sebelum ajal menghampiriku.

Penulis

Siti Nurlelah adalah Seorang ibu dari tiga orang anak yang kesehariannya mengajar. Mencoba sesuatu yang baru menjadi salah satu hobinya. Bisa memotivasi para siswa untuk mengejar impian dan melihat mereka bisa mewujudkan impian tersebut adalah hal yang paling membuat bahagia. Motto hidup ‘Usia tua bukanlah penghalang untuk terus mengembangkan diri dan menggapai impian’






Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url