Output Pembelajaran Sastra dengan Pendekatan Batiniyah

Pembelajaran sastra dengan pendekatan batiniyah


Menjadi penulis tidak cukup mengeluarkan karya atau quotes yang fantastis dan bisa mencapai label best seller, tetapi ada beberapa output yang mestinya Anda dapatkan ketika mempelajari sastra. Memangnya apa saja?


Mempertajam Intuisi,

Karena kalau tidak ada intuisi, karya sastra tidak akan mengalami inovasi dan kreatif, begitu-begitu saja. Dan intuisi ini dialami ketika seorang sastrawan mengalami ilmiah atau pengetahuan secara langsung/tiba-tiba.

Dalam prosesnya ini memerlukan banyak aspek terutama ketenangan jiwa dan pikiran agar memunculkan rasa untuk menuliskan sesuatu. Tahap menulis dalam aspek manfaat mempertajam intuisi ini pun tidak semata-mata karena untuk mempertajam ingatan, pola pikir dan semacamnya, tetapi bagaimana pikiran bisa setenang mungkin dan melatih kebiasaan menenangkan pikiran.

Apabila latihan ketenangan pikiran ini akan berdampak baik pada pola hidup yang sehat, semisal ketika udara di lingkungan rumah itu bagus sebagai mutu kualitas, maka segala aspek kehidupan akan terasa nikmat. 

Sebaliknya jika semuanya kumuh dan kalut, maka aspek kehidupan termasuk keinginan untuk memenuhi kebutuhan primer akan malas. Nah, hal itu sama seperti pikiran yang jernih akan membawa mood lebih semangat untuk menulis.

Pendekatan Batiniyah

Secara batiniyah memang dijelaskan bahwa ketenangan batin  akan membawa ke dalam dorongan menjalankan aktivitas kehidupan yang baik, dengan dorongan dari aspek humanitas, religiusitas bahkan secara koneksi kekeluargaan sebagai pemantik semangat dan lain sebagainya.

Jadi, kesehatan jiwa dan pikiran itu penting ketika kita senantiasa melakukan kegiatan menulis atau lebih luasnya kegiatan literasi –dengan enam bidangnya yang bisa membantu kehidupan manusia yang lebih kompleks— akan menimbulkan positivisme yang sangat dominan dan menurut pandangan saya akan membawa dampak yang sangat mudah untuk disebarkan.

Artinya, pertama dalam menenangkan pikiran dan batin memunculkan dorongan semangat dalam menulis yang diolah dengan motorik jalur akal, kemudian ada dorongan kembali dalam menganalisa atau mempraktikkan tulisannya dengan cara yang sederhana. Bagaimana batin dan akal tidak sehat bila senantiasa terkontrol dengan baik dan didasarkan dengan aspek religius, humanitas dan kesadaran mencerdaskan bangsa?

Meningkatkan Sensorik

Meningkatkan Sensorik terhadap Apa yang dirasakan, kepekaan ini terlatih ketika belajar sastra, mengapa? Karena sumber penciptaan karya sastra bermula dari ketajaman intuisi, penggalian imajinasi, feeling dan penggunaan kata-kata.

Kepekaan ini bisa tumbuh saat merasakan keindahan, ketenangan, kegelisahan, ketidakenakan, kemudian diproses oleh otak dan diubah menjadi sebuah kata-kata dan kalimat.

Dalam proses sensorik dalam otak akan memproduksi berbagai kata atau kalimat berdasarkan pengalaman, wawasan, hingga berbagai jalur empiris dan kegiatan yang radikal dapat membantu menumbuhkan reaksi positif dalam proses sensorik.

Secara Nalar

Secara nalar pun pembelajaran sastra ini sangat menyehatkan karena mengaktifkan proses pengumpulan kosakata, menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih bahkan dapat menambah daya intelektual yang sangat bagus dalam pembicaraan dan penulisan. 

Tetapi, dalam artian tidak secara langsung menjadi besar terhadap reputasinya, bukan menjadi lebih disegani walaupun seseorang yang belajar sastra sudah kompleks. 

Justru semakin mempelajari sastra, maka seseorang akan lebih rendah hati karena di dalam kajian sastra mengajarkan untuk tidak mengklaim bahwa dirinya lebih hebat dan tidak bisa dipungkiri bahwa seorang sastrawan justru hidupnya penuh dengan kesederhanaan karena dianggap hidup dengan kata-kata akan menambah wisdom dan ketenangan batin dalam kesehariannya.

Belajar Matematika 

Ibarat belajar matematika atau sains ketika mempelajarinya justru akan meningkatkan daya rendah hati dan ada dorongan ingin membagikan ilmunya. 

Sama halnya seperti ilmu sastra, kepenulisan dan apapun jenis ilmunya, bahwa manusia memiliki dorongan dan alasan yang sudah reaktif sejak lahir. 

Ketika indera manusia sering menangkap informasi dan pengetahuan yang cukup atraktif maka proses sensorik dan berbagai proses dalam pikiran dan batin manusia saat belajar sastra atau jenis pengetahuan lainnya itu bersifat kontinu dan perlu dicatat. 

Maka dari itu, mengapa menulis itu bagus untuk kehidupan manusia karena menulis itu dianggap sebagai catatan sejarah yang sangat bagus untuk diberikan kepada generasi Anda, atau sebagai pembelajaran, pengetahuan baru dan masih banyak lagi.

Belajar penafsiran

Belajar Penafsiran, sebuah karya sastra tidak akan menarik ketika hanya memiliki satu makna. 

Sebuah karya sastra yang bagus menurut sastrawan seperti Alm. Eyang Sapardi, Joko Pinurbo, Sudjiwo Tedjo, selalu mengutamakan multi-interpretasi di mana hal tersebut akan menambah nilai keabadian.

Dari sini pula, kita perlu belajar bagaimana karya cipta kita tidak hanya memiliki satu sudut pandang, tetapi kita coba menantang diri membuat karya sastra yang terus menerus diteliti makna sebenarnya. Dan yang paling bagus, seorang penyair atau penulis wajib menyembunyikan makna asli dari tulisannya, biarkan orang-orang yang menilai seperti kita menanam pohon di sembarang tempat.

Menafsirkan sebuah karya

Menafsirkan sebuah karya itu memang diperlukan dan bagus untuk pengembangan pola pikir dan pola hidup untuk melihat suatu kejadian dengan persepsi yang berbeda, atau dengan sudut pandang yang banyak. 

Tata cara penafsirannya pun berbeda-beda dalam mengartikan, member atensi, kritik dan saran, serta dalam menafsirkan sebuah karya itu tidak bisa mencampurkan beberapa kebenaran dari persepsi seseorang, maksudnya tidak bisa semena-mena men-judge bahwa ketika ada suatu karya sastra yang menurut kita kurang tepat atau bahkan salah, kita tidak bisa langsung menjawab bahwa “Ini salah penulisannya.”

Etika penafsiran

Dalam etika penafsiran pastinya harus mengetahui bahwa karya sastra memang perlu ada kritik dan saran tetapi tidak secara langsung menyalahkan suatu karya sastra yang kurang tepat, gunakanlah kata-kata yang baik ketika kita sudah mempelajari ilmu sastra dengan selalu mematenkan perilaku estetika dan etika yang dijunjung tinggi.

Budaya mengkritik

Namun, sayangnya budaya mengkritik dan menafsirkan karya belum menjadi sebuah pedoman dalam mempelajari ilmu kesusastraan.

Masalahnya, etika penafsiran ini memang memerlukan banyak aspek dan aturannya dimana dalam menafsirkan suatu karya sastra menurut pandangan pribadi ada tiga etika yang perlu dipegang oleh pegiat sastra milenial, antara lain: 

Gunakan Bahasa yang Baik dan Santun

Masalah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan santun ini memang masih diacuhkan karena banyak sekali bahasa-bahasa yang bisa dianggap keren atau gaul yang menjadikan anak-anak muda milenial sekarang terlalu mengonsumsi kata-kata tersebut walaupun mereka sudah masuk ke ranah alam sastra.

Dan ini perlu di-backup sedemikian rupa untuk menanggulangi penggunaan gaya bahasa muda dalam mengkritik karya sastra, karena tidak semua pegiat karya sastra mengerti bahasa gaul dan lebih baik gunakan gaya bahasa yang baik dan santun dalam mengkritik.

Gunakan Etika dalam Memberikan Kritik terhadap Karya Sastra

Dalam memberikan kritik itu memerlukan etika karena ada beberapa faktor penguat terhadap kualitas kritik yang diberikan, terutama pada tutur kalimat atau diksi kata yang digunakan sebagai kritik, tentunya hal itu akan sangat menentukan bagaimana personal diri kita sebagai kritikus sastra. 

Maksudnya adalah jika kita menggunakan etika dalam mengkritik maka output yang diberikan akan berdampak bagus untuk sisi kualitas tulisan, kualitas penulis dan menata hubungan antara pegiat sastra.

Jadi sebenarnya kritik dan saran dalam karya sastra itu memang ada bahkan bisa dibilang wajib tetapi jika kita tidak menggunakan etika dalam berkritik hasilnya akan berantakan; hasilnya akan tidak memuaskan penulis, bisa jadi menyurutkan semangat menulis atau bahkan bisa saja memaksakan diri untuk tidak mengenal ilmu sastra dan kepenulisan. 

Naasnya, hal ini belum terdeteksi secara optimal ketika ada seorang penulis yang terdistraksi karena saran yang kurang konstruktif atau jangan-jangan penulis terlalu mengambil hati sehingga ia menjadi malas menulis lagi.

Point of View

Lagi-lagi ini harus dipandang dari sudut yang berbeda, yakni dari point of view seorang penulis dan kritikus. Pada dasarnya orang menulis itu karena ada dorongan untuk menuliskan sesuatu yang ia alami, rasakan, dengar atau dengan panca indera atau organ tubuh lainnya. 

Dalam menangkap sebuah informasi, manusia memerlukan daya untuk menuliskan atau menyalurkan apa yang ia tangkap dengan pendekatan yang ia miliki, seperti menulis atau menciptakan sebuah karya, tetapi kadang manusia sering lupa dan akhirnya ia memilih untuk menuliskan sesuatu. 

Nah, dari sini saja kita bisa melihat bahwa dorongan motorik menulis ini alamiah dan akan fatal bila didistraksi atau terkena pressure dari orang-orang yang tidak mengerti etika dalam memberikan kritik. 

Dan ini perlu kita garisbawahi bersama bahwa menulis itu adalah kegiatan alamiah manusia, entah media yang ia gunakan berupa gadget atau komputer, atau media kertas kosong atau bekas, biasanya manusia cenderung menuliskan sesuatu terhadap informasi yang ia dapatkan.

Berikan Tanggapan Positif dan Teduhkan Suasana

Maksudnya memberikan tanggapan positif bukan hanya soal kata semangat atau pantang menyerah dalam menulis tetapi lebih kepada atensi dan memberikan ruang dan telinga ketika mereka berkeluh kesah pada kita, sehingga mereka terus melatih diri untuk semangat dalam menulis. 

Di dalam aspek psikologi, ada yang dinamakan toxic positivity di mana hal ini sebenarnya berbahaya bagi seseorang yang meminta saran kepada kita. 

Mestinya kita hanya perlu memberi ruang, telinga dan how feel them if we feel that, artinya kita seberapa besar untuk merasakan pesakitan mereka dan mencoba merendah untuk mendengar dan memberikan ruang hampa untuk membuang segala negativitas mereka yang terkumpul di kepala dan batin. 

Biarkan mereka melepaskan beban, sakit, keluh kesah yang bisa menghalangi proses menulis mereka, setelah itu berikan atensi untuk memberi nyala pada diri mereka supaya lebih bersemangat minimal dirinya yang berani menyadari bahwa menulis itu memang penting untuk mencatatkan sejarah hidup. 

Dan pastikan, gunakan etika dan bahasa yang membangun hingga menyalakan semangat mereka hingga menjadi besar.

Belajar Tata Krama yang Kreatif

Belajar Tata Krama yang Kreatif, tata krama memang perlu dipelajari, tetapi sastra mengajarkan tata krama dengan sangat ciamik. 

Kita jadi tahu bagaimana berbicara dengan orang lebih tua, bagaimana menyesuaikan kata-kata dengan yang lebih muda, dan utamanya adalah memudahkan adaptasi karena pengetahuan tentang bahasa dan kata-kata kita lebih menguasai dan mudah untuk mencari topik untuk lawan bicara. 

Dari point of view orang awam pasti semua pegiat sastra memiliki kefasihan dalam berbahasa, gaya bahasanya yang sopan dan memiliki integritas yang tinggi. Ini artinya kita perlu menyeleraskan bahwa belajar sastra itu membangun mindset untuk sopan santun lho ternyata, dan hal ini mungkin tidak disadari oleh banyak orang apalagi penulis muda. 

Seharusnya gaya bahasa yang tadinya belum terlalu baku perlu di-blend agar menjadi kebiasaan dalam menulis, contoh pada short-story about romance itu biasanya kita mendapatkan gaya bahasa yang remaja, tetapi alangkah baiknya kita coba mencampurkan gaya bahasa baku atau santun ketika remaja berhadapan dengan orang tua atau mencoba membuat cerita tersendiri dengan POV yang berbeda. 

Contoh sederhananya begini, ada siswa yang memiliki sopan santun yang tinggi dan otomatis penulis harus research and gate tentang kosakata yang santun, baik dan juga humble. Memang ini menjadi tantangan tersendiri ketika kita berhadapan dengan output sopan santun dan tata krama.

Jadi, jika kita belajar sastra dan mendapatkan output yang dipaparkan di atas maka baiknya kita mencoba untuk menyebarkan manfaat sebagai penulis muda yang menjadi pionir kecerdasan generasi muda dalam berbahasa.

Akhir kata dari saya, terima kasih atas atensi dan apresiasinya, kurang lebihnya mohon maaf. Salam aksara!


“Mencoba sedikit berbeda dari yang lain lebih baik daripada melampaui yang sudah berada di atas.” – Pandji Pragiwaksono


Tentang Penulis

Arief Santoso, lahir di Pekalongan, 19 Oktober 1997. Domisili di Sukabumi, dan sekarang aktif menjadi mahasiswa akuntansi Universitas Muhammadiyah Sukabumi, dan memiliki kebiasaan menulis puisi, lirik lagu, esai dan kutipan-kutipan khasnya. Karya tulisnya sudah dipublikasikan di Majalah Pewara Dinamika Universitas Negeri Yogyakarta, Lingkarpenulis.com, Cintapekalongan.com, UPM Universitas Muhammadiyah Sukabumi dan karyanya yang sudah diterbitkan; Pena dan Kertas Usang, Tentang Rasa, Mari Jaga Otak Kita Kasih, #CocoteWiroto, Efek Rumah Sepi dan Menjadi Rumput Sehari Saja masih dalam proses penerbitan.  Untuk mengetahui informasi lebih lanjut, bisa hubungi via:

E-mail : arifsantoso1910@gmail.com

Facebook : Arif Santoso

Instagram : @wrtskm19

No. HP/WhatsApp : 081572728270


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url