Cerpen Tema New Me : Sang Pecundang oleh El Hanani

Pecundang oleh El Hanani

Kamarku yang luas ini terasa sempit sekarang. Sesempit pikiranku yang seluruh ruangnya dipenuhi tumpukan masalah. Kupandangi berkas transkip nilai pendidikan S1 yang kuperoleh 10 tahun silam dari IAIN Bandung. Bayu Permana, Fakultas Hukum, nilai IPK 3,50. Aku telusuri nilai demi nilai yang tertera di sana, hampir seluruh mata kuliah sudah kurampungkan, tinggal skripsi, sidang, dan wisuda. Ah, jika saja saat ini Papa masih ada, tentu aku sudah jadi Sarjana Hukum. Mungkin jadi hakim, pengacara, atau memperoleh pekerjaan di perusahaan Bonafid. Ada embel-embel SH di belakang namaku, wah keren, bukan?

Dasar pecundaaangg!!!” Teriakan menyakitkan yang dilontarkan Bian, kakakku, yang kemarin siang kembali terngiang di telingaku. Bukannya memberi solusi, dia malah memaki-maki dan mencemoohku. Pemuda sampah yang tidak berguna, dan ejekan yang membuat hatiku sangat sakit, adalah gelar “Pecundang”. Dia memang sukses dalam bisnisnya, kehidupan keluarganya, tapi apakah pantas dia menghina diriku?

“Aaaagghhh…..” Kulemparkan berkas nilai itu ke sudut kamar. 

“Benci aku melihatmu! Buk….buk..bukk…” aku kembali meluapkan emosi dengan meninju dinding kamar. Meninggalkan bercak merah di sana.

“OOIIIII …!! JANGAAANN BERISIIIK!!” Teriakan melengking Fajar, adikku yang masih duduk di SMK menambah kemarahanku. Terdengar seperti sebuah tantangan bagiku.

“ Braakk.” Aku membuka pintu kamar  dan membantingnya kasar, kemudian berteriak nyaring.

“KAMU YANG RESE!!!”

Fajar melotot, berdiri menantangku.

“Aku gak takut, kamu seorang kakak yang gak berguna. Malu aku punya kakak seperti kamu!” Umpatnya tak kalah sengit.

Mama yang mendengar suara gaduh, tergopoh-gopoh keluar dari kamar.

“Bayu!, Fajar!, hentikan!, *tidak perlu pake ‘koma’* sudah besar, masih saja ribut. Tak malu kah kalian didengar para tetangga?”

Mama menatap kami bergantian. Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang begitu dalam. 

“Dia tuh Ma, yang rese. Tiap hari kerjanya marah mulu. Kertas dilemparin. Dinding ditonjok. Dasar gak waras. Sumpek Ma di rumah tuh kalo ada dia. Fajar pergi , Ma.” Tukas Fajar sengit. Lantas keluar meninggalkan kami berdua.

Tak mau kena omelan Mama yang panjang, aku segera menyambar jaket dan cepat-cepat pergi meninggalkan Mama yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. Dari luar, sempat kulihat mulut mama komat kamit, entah melafalkan do’a, entah kekesalan yang diungkapkan untuk kedua anaknya. 

***

“Aku bete di rumah, Dre. Si Fajar selalu bikin kesal.” Kuungkapkan kekesalanku kepada Andre, sahabatku. Andre malah tertawa mengejek.

“Ha..ha..ha.., kali kamu yang bikin sumpek.”

“Aku??!”

“Sorry Bay, hatimu sensitif kaya cewek. Diejek Fajar, langsung marah. Aku pikir, si Fajar bosen lihat kamu diem di rumah, kagak ada kerjaan. Apa yang  bisa dia banggakan dari kakaknya?”

Perkataan Andre menohok tepat di dadaku. Hanya menambah sakit hatiku.

“Nah, kamu kesinggung kan aku ngomong begitu. Ha..ha..ha..santey Bro. Cowok tuh musti kuat, jangan cengeng!” Sindir Andre lagi.

“Aku datang ke sini bukan untuk ngedengerin ceramah. Pikiranku mumet. Aku butuh refreshing,” jawabku kesal.

“Oke terserah kamu, Aku cabut dulu Bay, mau menjemput rejeki di pasar.” Tukas Andre sambil menghidupkan Beat birunya, melaju cepat ke arah pasar.

Aku memandangnya kesal. Aku pikir Andre malas berteman dengan pengangguran sepertiku.

***

Menjadi tukang ojek seperti mereka? Oh, No way. Tengsin bo. Aku kan pernah kuliah, lagian Vixion ini gak level lah buat ngojek.  Kicauku dalam hati.

Segera kupacu Vixion hitam kesayanganku menyusuri jalan utama yang menuju Pelabuhan Ratu. Sungguh keren pemandangannya. Sukabumi memang indah. Lama aku tidak refreshing ke tempat ini. Hamparan sawah di daerah Sorog Cikembar kalau dari jauh tak kalah dengan Ubud, Bali. Sumpah, keren banget. Sepanjang jalan dipenuhi pohon karet yang berjajar rindang. 

Di bawah pohon karet, aku parkirkan roda duaku. Kuhisap Marlboro-ku yang tinggal sebatang, nikmat sekali. Dengan pelan kukeluarkan asapnya melalui hidung, membentuk bayangan-bayangan indah, seperti masa-masa romantis saat kuliah dulu.

“Bay, jika kau lulus kuliah, mau kerja di mana?” Tanya Selvi ketika kami pulang kuliah bersama.

“Yang penting lokasi kerjaku harus di Jakarta atau kota besar deh. Jadi pengacara mahal dong ah, biar bayarannya selangit, trus kan nanti bisa melamar dirimu,” jawabku semangat. 

Selvi tersenyum manis mendengar ucapanku. Senyumnya itu selalu terbayang. Ah, di mana dirimu kini? Mungkin sudah jadi orang sukses. Asap rokok mengabur, kuhisap lagi lebih dalam dan penuh perasaan. Kubuat lagi bayangan masa laluku di slide berikutnya. Bayangan Bian, kakakku yang tegas hadir di sana. Aku segera mengacaukannya. Aku tidak mau mendengar umpatannya lagi meski dalam bayangan asap rokok. Tidak sama sekali.

***

Larut malam. Aku pulang ke rumah. Rumah besar itu kini begitu sepi. Kamarku dan kamar Fajar nampak gelap. Pertanda pemiliknya belum datang. Mama tentu tidak bisa menyalakan lampunya, karena kunci kamar ada di tanganku dan Fajar. Perlahan aku masukkan motorku ke garasi. Garasi itu hanya dihuni dua motor saja, mobil BMW papa sudah lama dijual, dan uangnya mama pakai untuk biaya hidup keluarga dan biaya sekolah Fajar.

Dari celah jendela, aku melihat mama tertidur di sofa. Hatiku trenyuh melihatnya. Perlahan kubuka pintu dan berjalan melewati ruang tamu. Walau tanpa suara, Mama seolah tahu akan kedatanganku. 

“Bayu! duduklah sini. Mama ingin bicara.” Ucap Mama berusaha duduk di sofa.

Aku memutar badan, mendekati Mama lesu, dan duduk tak jauh dari Mama.

“Dari mana saja kamu, Bayu? Mama tadi berusaha menelponmu, kenapa gak aktif? Mama sendirian di rumah. Fajar juga belum pulang sampai saat ini. Tidak ada kabar pula. Mama cemas, Bayu.” Ungkap mama sedih. Pandangannya menerawang  jauh. Entah apa yang ada di pikiran Mama.

“Mama ingin kamu rukun dengan adikmu. Kalau terus berantem, kapan Mama bisa merasakan ketenangan di sini? Aku tertunduk menyesali diri, karena aku selalu ribut dengan Fajar.

“Mama tidak mengerti dengan jalan hidup yang kau pilih, Bayu.”

“Maksud Mama?” Tanyaku dengan raut muka berubah. Kupikir Mama akan menyinggung statusku kini.

“Kamu pernah kuliah, punya skill, tapi kenapa tidak betah bekerja di orang? Diajak berwirausaha oleh pamanmu, malah menolak. Andre teman baikmu yang sudah bersusah payah membantumu agar bisa bekerja di pabrik-pabrik dan PLN, malah kamu tolak juga. Terus rencanamu apa? 

“Maaf, Ma, Bayu capek.” Aku berdiri dan bergegas menuju kamar, meninggalkan Mama yang nampak masih terkejut melihat sikapku.

***

Esok harinya, selepas subuh, aku pergi ke pangkalan ojek mencari Andre untuk meminta maaf. Tapi tak kutemukan dia di sana. Para pejuang ojek itu memberi petunjuk  kepadaku, untuk mencarinya di pasar. 

Aku memasuki Pasar Cikembang yang cukup ramai. Mataku kelayapan mencari sosok Andre. Setelah berputar-putar di dalam pasar, kutemukan juga Andre. Ia nampak asyik berbincang dengan petugas kebersihan pasar. 

“Ah, si Andre ngapain ngobrol dengan orang itu. Gak level banget,” gumamku heran. 

“Ndre! sorry ya atas ucapanku kemaren.” Aku mengulurkan tangan meminta maaf. 

“ Ada apa Bro? Minta maaf buat apa? Kita kan damai-damai saja.” Tanya Andre tak mengerti.

“Eh…ya, soal kemarin, obrolan kita di pangkalan ojek itu.” Aku berusaha menjelaskan.

“Duh.. Bayu.. Bayu. aku ini bukan tipe pendendam. Hatiku bersih, he..he. Ada yang bisa kubantu, Bay?” Andre menawarkan diri untuk menolong.

“Semalam nyokap bahas statusku, minta aku untuk mandiri, Dre. Aku bingung harus gimana, ungkapku pada Andre.

Andre menatapku tajam, “Bener kamu mau kerja, Bay?”

“Ya, aku lihat dulu lah kerja apa? Kalo kerja seperti petugas kebersihan itu, aku ogah lah,” jawabku tegas.

“Terus, kerja seperti apa yang kamu inginkan? Tukang Ojek, kamu bilang gak level, petugas kebersihan, ogah katamu. Kerja di pabrik, capek. Wirausaha, gak mau rugi. Jadi sopir angkot, kamu bilang capek juga. Ada peluang di PLN, jawabmu waktu itu, gak bisa sholat, waktunya mepet. Jujur, bingung aku.” Andre menepuk jidatnya bingung bagaimana harus membantuku.

“Aku mau kerja yang enak Dre, gaji gede,” jawabku jujur.

“Ha..ha..ha…Bayu, ….Bayu, keinginanmu tuh kaya anak kecil yang minta mainan sama Bokapnya.”

“Aku serius Dre.”

“Aku juga serius, Bay. Kamu selamanya akan tetap menjadi pecundang, selama kamu pilih-pilih pekerjaan seperti itu. Menurutku, bukan tidak ada lowongan pekerjaan, tapi para pengangguran itu suka milih-milih pekerjaan, persis seperti kamu.”  Ucapan Andre kembali membuat kupingku panas. 

“Lihat aku, sahabatmu, pekerjaanku tukang ojek. Tapi aku gak gengsi. Bagiku yang penting halal, bisa menafkahi anak istri, bisa menabung buat masa depan anak-anakku. Aku bukan PNS atau karyawan  yang dapat gaji tiap bulan. Mana ada ceritanya tukang ojek dapet gaji dari pemerintah? Oh ya, jujur aku gak bisa bantu masalahmu, kecuali kamu mau menanggalkan gengsi, aku yakin label Pecundang  akan lepas dengan sendirinya.” Andre menepuk bahuku seolah memberi semangat hidup untukku.

“Kamu yang bisa merubah nasibmu sendiri. Semangat ya Kawan. Maaf aku gak bisa lama-lama, Bi Yeni dah minta aku buat nganterin dia pulang nih.”

Aku mengangguk begitu saja tanpa sadar. Terlalu banyak perkataan Andre yang harus kucerna. Benarkah aku bisa menghapus gelar yang menyakitkan itu? Andre bilang : BISA.

TAMAT

El-hanani merupakan nama pena dari  Eva Fatmawaty. Lahir di Sukabumi. Lulusan SMA N 1 Cibadak tahun 1998. Sempat kuliah dan mondok di IDIA Prenduan Sumenep Madura tahun 1998-2002. Menulis baginya adalah ibadah. Tulisan sederhananya bisa dilihat di blog www.qolamii.wordpress.com  dan IG: elhananisaha.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url