RERASAN #1: MENGAPA KITA BELAJAR?

Berbagi kisah unik bersama angin dan hujan, kayaknya perlu refleksi untuk kesembuhan diri. Apa jadinya jika pendidikan disamakan dengan sekolah? Atau pernah merenung kenapa kita mesti sekolah sampe wisuda kuliah, ya?

Sedikit membayangkan kalaupun pendidikan itu wajib, kenapa yang wajib itu pergi ke sekolah? Atau mendatangi lembaga pendidikan formal dan non formal? Hmm, rerasan seperti ini gawat jika terdengar dan disadari banyak orang.



Cacahan Awal: Banyak Tanya Tidak Apa-apa

Pendidikan adalah belajar, pendidikan adalah membangun, pendidikan adalah bagaimana manusia mengaktivasi core tools-nya bernama akal, budi, nurani dan jiwa. Definisinya singkat aja, lagian itu subjektif. Iya, kan?

Bapak revolusi dan ibu kita pun memfasilitasi anak-anak untuk eksplorasi. Mereka menyuguhkan media dan sumber secara langsung untuk mengaktifkan daya ingat, daya kreatif, kritis dengan gaya bermain. Anak-anak dibebaskan belajar sesuatu sampai menemukan apa yang diminatinya.

Pendidikan yang membebaskan telah dicanangkan pada kurikulum pendidikan nasional, tetapi apakah sepenuhnya bebas dan merdeka? Apakah bebas itu sama dengan merdeka, begitu sebaliknya?

Bebas belajar dan merdeka belajar tentu memiliki perbedaan dalam fokus dan aktivitas; fokus bebas belajar adalah membebaskan diri dari kurungan kurikulum dan pendidikan, sehingga nampak seperti keluar zona, sedangkan merdeka belajar diartikan sebagai belajar dengan menyesuaikan kebutuhan.

Sekilas sama, tetapi apakah sepenuhnya merasakan, baik gurunya maupun siswanya? Bagi 61% pelajar (SMP sampai kuliah), segelintir manfaat yang dapat didayagunakan sebagai pengembangan diri, sisanya hanya menyulitkan langkah perkembangan diri.

Cacahan Kapindo: Relevansi versus Korelasi

Serap pendidikan dari manapun, namun jangan lupakan aslinya, begitu kata Mbah Kakung yang menjadi pensiunan guru di salah satu kota Jawa Tengah ketika menceritakan pengalaman belajar dan mengajarnya waktu usia muda.

Rerasan sebelumnya agak menggelitik telinga dan mengusik hati, jika hubungannya dengan rekonstruksi atau perombakan. Pendidikan diupayakan sebagai memerdekakan pilihan siswa mempelajari sesuatu hal yang dibutuhkan, bukan lagi bicara kompetisi ranking, nilai belaka, kepentingan sekolah ataupun pengejaran akreditasi bersifat eksploitatif. Jadi ngebayangin kerja rodi, heuheu.

Mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan dan memfasilitasi semuanya adalah paket komplit semua warga, bukan masyarakat pendidikan semata. Maka, apa yang perlu disiapkan untuk lingkungan yang sehat? Apa yang dibutuhkan ruang pendidikan menyikapi merdeka belajar yang katanya memerdekakan cara, fokus, gaya, dan tujuan belajar anak-anak dan guru?

Cacahan Katilu: Mending Biasa Saja

Raport dan nilai itu hanya lembaran biasa, apalagi ranking dan trofi kompetisi itu juga hal biasa. Jadi, bagi orangtua yang anaknya masih berkembang dan tumbuh menjadi anak hebat terus dukung saja, jangan dipaksakan untuk berlomba-lomba yang di luar kemampuannya.

"Bayangkan satu atau dua anak saja mewakili sekolah mengikuti lomba nasional, itu sudah cukup. Gak usah banyak-banyak, apalagi ngeborong piala dan medali. Beri ruang buat anak lainnya, kalo itu namanya pendidikan kolaboratif bukan kompetitif belaka."

Bukan tidak penting atau dilarang berkompetisi, ada baiknya merata menampilkan keistimewaan dan pemberian ruang dan peluang menurut pribadi lebih baik. Semua berhak tampil, semua berhak belajar, semua punya ruang dan panggung yang sama.

Kalaupun itu terjadi, maka regulasi pendidikan sudah dinyatakan lulus, bahkan tinggal naik level lagi 'menjadi manusia.' Jadi, belajar itu bukan wajib, tapi alamiah dan sewajarnya layaknya mendengarkan musik; cari, gali, pahami lalu kembangkan berdasarkan pemahamanmu.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url